top of page
logo for bahana
  • Instagram_Glyph_White_RGB
  • X logo

Yang tidak dibicarakan ketika kita bicara perubahan iklim

  • almazarkasih
  • 7 days ago
  • 8 min read
Hampir setiap hari kita mengajak masyarakat peduli tentang perubahan iklim, tapi apakah kita sudah berbicara dengan orang yang tepat dengan cara yang tepat? Penelitian bersama Development Dialogue Asia (DDA) dan Communication for Change (C4C) telah mengidentifikasi metode mengkomunikasikan perubahan iklim kepada masyarakat Indonesia yang majemuk.

Di Indonesia, sejumlah organisasi masyarakat sipil (OMS) berusaha membuat masyarakat lebih peduli tentang perubahan iklim dan ikut memitigasi dampaknya. Untuk mendukung agenda itu, kami (Development Dialog Asia bersama Communication for Change) dan Kantar Indonesia mengadakan survei di 34 provinsi dengan 3.490 responden yang ditarik secara acak selama April – Agustus 2021 untuk mengukur tingkat pemahaman orang Indonesia tentang perubahan iklim dan kesediaan mereka mengikuti aksi kolektif untuk melindungi lingkungan hidup.


Survei kami mengungkapkan mayoritas orang Indonesia belum melihat perubahan iklim sebagai hasil perbuatan manusia yang dampaknya sudah mereka lihat atau alami langsung. Kami juga menemukan, walau hanya sedikit orang Indonesia yang pernah melakukan aksi kolektif membela lingkungan, sebagian mengaku mau ikut kegiatan pelestarian lingkungan hidup.


Melanjutkan temuan survei, kami bersama Eye to Eye lalu merancang beberapa pesan komunikasi untuk diuji dalam focus group discussion (FGD) di Jawa, Sumatra, dan Papua, selama bulan Juli - Agustus 2022. Kami mengidentifikasi pesan yang berpotensi membuat orang awam lebih paham tentang fakta dasar perubahan iklim dan tergugah untuk ikut memitigasi dampaknya.


Kami mengundang OMS menerapkan panduan yang telah kami susun agar mampu merangkai pesan yang lebih efektif untuk memajukan agenda iklim masing-masing.


Banyak orang Indonesia tidak tahu kalau mereka salah paham tentang perubahan iklim


Berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, survei yang kami lakukan bersama Kantar Indonesia dari April sampai Agustus 2021 tidak hanya bertanya ke responden yang berusia 16 - 60 tahun apakah mereka pernah mendengar istilah “perubahan iklim”, tapi juga mengecek apa yang mereka pahami tentangnya.


Meskipun 88% responden mengaku pernah mendengar istilah itu, hanya 44% dari mereka (alias 39% dari populasi) yang bisa menjawab definisi yang benar tentang perubahan iklim. Selain itu, hanya 1 dari 3 responden yang menjawab pemanasan global telah terjadi saat ini, dan kurang dari setengah populasi (47%) yang percaya itu disebabkan terutama oleh manusia. Artinya, banyak orang Indonesia yang tidak tahu kalau mereka sebetulnya salah paham tentang perubahan iklim.





Saat ditanya siapa saja yang akan terkena dampak buruk pemanasan global, lebih sedikit yang menyebut kalangan terdekat (seperti keluarga, lingkungan sekitar, dan diri sendiri) dibandingkan pihak yang abstrak, berjarak dan impersonal (generasi masa depan, flora dan fauna, orang Indonesia). Data ini membuat kami menyimpulkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia merasa bahwa perubahan iklim dan pemanasan global adalah sesuatu yang abstrak, berjarak, dan impersonal. Ini tidak membantu mereka melihat urgensi untuk memitigasi dampaknya, apalagi tergerak untuk terlibat di dalamnya.


ree

Pesan “selimut polusi yang membuat bumi kepanasan” membuat lebih paham


Apa yang bisa kita lakukan untuk membuat masyarakat lebih paham dan lebih peduli? Kami percaya bahwa pesan tentang perubahan iklim yang efektif mendatangkan perubahan ini adalah yang bisa membuat orang awam bisa membayangkan hubungan antara penyebab perubahan iklim dengan berbagai dampak yang telah mereka alami di lingkungan terdekatnya. Penelitian dari Amerika Serikat mengkonfirmasi bagaimana pesan tentang perubahan iklim yang membawa istilah-istilah asing dan rumit bagi orang awam seperti “emisi gas rumah kaca”, “dekarbonisasi”, “antropogenik” membuat mereka malah justru mengabaikannya.


Sayangnya kami kerap menjumpai contoh-contoh bagaimana bahasa dalam pesan perubahan iklim cukup sukar dicerna orang awam yang belum termotivasi untuk mempelajarinya dengan mendalam. Contoh-contoh ini kami temui dalam penjelasan tentang perubahan iklim yang kami temukan dari laman instansi pemerintah, media nasional, dan unggahan beberapa OMS di media sosial.


ree

Poster Perubahan Iklim oleh Kompas.com


Lalu bagaimana cara menjelaskan perubahan iklim dengan singkat, sederhana, dan memikat perhatian orang awam sehingga mereka melihat bahwa ini disebabkan oleh perbuatan manusia dan dampak buruknya sudah terjadi sekarang? Kami menggunakan pendekatan yang sudah teruji efektif di Amerika Serikat dalam menggerakkan para ibu yang sebelumnya “netral” dalam politik iklim untuk mendesak pemerintah daerahnya mengambil tindakan nyata. Pesan ini tertuang dalam video yang aslinya adalah seperti berikut:



Video ini memperlihatkan bahwa perubahan iklim dapat dijelaskan lewat perumpamaan selimut polusi yang membuat bumi kepanasan. Selain menjelaskan tentang penyebab dan dampak perubahan iklim, perumpamaan ini pun bisa memberi gambaran tentang bagaimana memitigasi dampaknya, yaitu berhenti menghasilkan polusi.


Perumpamaan “selimut polusi” ini kami adaptasi dalam pembuatan pesan komunikasi perubahan iklim bagi masyarakat Indonesia. Saat mengadaptasi pesan, kami juga menambahkan faktor “pemberat” perubahan iklim seperti penebangan hutan (sehingga polusi tidak bisa diserap dan akhirnya jadi berkumpul membentuk “selimut”) dan penggunaan batu bara di PLTU (sebagai salah satu sumber polusi utama di Indonesia).



Untuk melihat apakah perumpamaan “selimut polusi” bisa diterima masyarakat Indonesia, selama Juli – Agustus 2022 bersama Eye to Eye kami melakukan 14 focus group discussion (FGD) di Jakarta, Jayapura (Papua), Tarai Bangun (Riau), Kisaran (Sumatera Utara), Tegal, Demak, dan Semarang (Jawa Tengah), dengan responden laki-laki dan perempuan berusia 18 – 49 tahun dan mewakili berbagai tingkat sosio-ekonomi.


Di setiap kelompok, kami menyaksikan reaksi verbal dan nonverbal responden, apapun gender, usia, geografi, dan tingkat sosio-ekonominya, yang mengindikasikan mereka bisa membayangkan bagaimana beberapa kejadian yang mereka lihat dari dekat atau alami langsung adalah konsekuensi dari perubahan iklim.


ree

Opinions from Focus Group Discussion.


Lebih paham, malah lebih merasa tak berdaya?


Perumpamaan “selimut polusi yang membuat bumi kepanasan” juga nampak berkaitan dengan keinginan warga menjadi bagian dari solusi untuk menghindari petaka yang lebih besar.


Sepanjang FGD, di satu sisi kami mencatat bahwa satu-satunya solusi yang responden percaya benar-benar ada di tangan mereka adalah menanam pohon di rumah atau lingkungan sekitar. Di sisi lain, jika pesan mengandung faktor “pemberat” berupa penggunaan batu bara di PLTU atau peningkatan polusi sebagai konsekuensi pertumbuhan ekonomi, responden jadi merasa solusi berada di luar jangkauan mereka. Faktor “pemberat” sistemik kelihatannya membuat responden percaya hanya pemerintah yang bisa memecahkan dilema ini, sementara mereka merasa tidak yakin bisa mempengaruhi pemerintah. Akhirnya mereka jadi merasa tidak berdaya.


ree

opini dari focus group discussions


Membuat masyarakat menjadi bagian dari solusi sangat krusial, karena memaparkan ke orang-orang bahwa mereka terancam bahaya besar tanpa menawarkan jalan keluar malah bisa memicu mereka mengabaikan pesan. Dalam ilmu perilaku gejala ini disebut efek burung unta.


Masyarakat bergerak karena tergugah, bukan karena digurui

Agar komunikasi publik OMS efektif dalam menggerakkan warga untuk terlibat dalam aksi kolektif mitigasi dampak perubahan iklim, kita harus lebih dulu menjawab dua pertanyaan berikut:


  • Bagaimana OMS bisa membingkai pesan perubahan iklim agar masyarakat mau mendengarkannya dan bisa membuat mereka merasakan urgensinya?

  • Setelah warga menerima pesan perubahan iklim dari OMS, apa yang kita mau mereka lakukan?


Pesan harus dibingkai nilai moral penerima pesan

Berbagai penelitian mutakhir dalam ilmu perilaku (Feinberg & Willer, 2012; Hurst & Stern, 2020; Wolsko et al., 2016) menunjukkan bahwa pesan yang menggunakan bingkai moralitas yang sesuai dengan penerima efektif menggugah perilaku.


Dalam survei kami yang disebutkan sebelumnya, kami menemukan bahwa 8 dari 10 orang Indonesia mengaku merasa punya kewajiban moral untuk melindungi lingkungan dari kerusakan akibat ulah manusia. Namun dari manakah kewajiban moral ini muncul? Bingkai moralitas seperti apa yang bisa menggugah masyarakat Indonesia?


Selain tentang pemahaman tentang perubahan iklim kami juga menanyakan 20 pertanyaan mengenai pandangan moral yang digunakan responden dalam menilai apakah sebuah perbuatan salah atau benar. Rangkaian pertanyaan ini diadaptasi dari Moral Foundation Questionnaire dari Haidt & Graham (2009). Hasilnya, kami menemukan 9 dari 10 orang Indonesia (93%) memiliki worldview (filosofi hidup atau ide/konsep tertentu yang mempengaruhi interpretasi tentang dunia sekitar) yang bertumpu pada konservatisme.


Di samping cinta kasih pada sesama manusia dan anti penindasan yang nampaknya relevan bagi semua, mereka yang memiliki worldview konservatif menghargai spektrum nilai yang lebih luas, seperti nasionalisme atau patriotisme, azas proporsionalitas, kesetiaan pada kelompok, ketertiban dan stabilitas, kepatuhan terhadap otoritas, dan kesucian atau kemurnian. Sementara itu, orang dengan worldview liberal memprioritaskan cinta kasih pada sesama manusia dan persamaan atau kesetaraan, dan cenderung tidak mementingkan loyalitas, kepatuhan, dan kesucian.


ree

Moral Foundations of the Respondents


Survei kami juga mengelompokkan populasi Indonesia ke dalam ke dalam 5 segmen berdasarkan pemahaman atas perubahan iklim, dorongan ikut aksi kolektif, dan “worldview”. Pengelompokan ini tidak berkaitan dengan gender dan umur, dan hanya sedikit berkaitan dengan tinggal di desa atau kota. Namun kadang-kadang segmentasi ini berkaitan dengan tingkat sosio-ekonomi, yakni penghasilan, pekerjaan, dan pendidikan. Segmentasi ini diilustrasikan dalam gambar berikut:


ree

A diagram of the respondents' understanding on climate based on the segment of socioeconomic level (income, occupation, and education) as well as geography (urban or rural).


Based on the number, we prioritize the following 3 segments:


The established and informed conventionals (33%)


This segment is dominated by urbanites from middle and higher-middle class, who hold conventional worldviews (but are not fundamentalists) and follow the current events from media and social media. Compared to the general population, they are more knowledgeable about climate change. More of them feel morally obliged to protect the environment, and are more willing to join the climate collective action.




The pacifist cheerleaders (28%)


This segment likes to adorn themselves with membership badges from various groups: wearing shirts and pins, or using twibbon and avatar on digital presence. They are less of a soldier on the trenches than they are cheerleaders on the side. Avoiding open conflicts is paramount to them. They are demographically similar to the general population, but more of them work middle-income, blue-collar jobs.


Their level of understanding of climate change is at the same level as that of the population. Even though they are still considered to hold a conservative worldview, they do not immediately oppose liberal narratives. The narrative that resonates the most with them centers around togetherness and harmony within diversity. They do not object to being assumed as activists, although it does not necessarily mean that they have participated in or want to join collective actions.




The defender of their land (27%)


Most people of this segment work in agriculture or as housewives. They are not interested to find out about “the rumble out there”, and are the least knowledgeable about climate change. They are also the most reluctant to join collective actions.


However, they are very motivated to protect the foundation of their communities. They are more conservative than the general population, and very loyal to their immediate circles.



Climate change messaging needs to be framed differently according to each segment. For example, to target the Established and Informed Conventionals and the Pacifist Cheerleaders, we need to frame the message as: “to protect our family, especially our children''. Or we can target the Conventionals with the narrative of “protecting nature is protecting what God has entrusted us with” and deliver it with the help of religious leaders.


Another frame to target the Cheerleaders is by using the narrative “we cannot all be happy if some of us aren’t happy” to trigger a sense of local solidarity.


Meanwhile, we can target the Defenders by framing the message as “protecting our livelihood and our way of life”.


Choosing the right messengers is just as important. All segments listen to those whom they think are just like them. Therefore, we need to rethink if we will have “influencers” who hold little similarity to the message recipients.



Messages will be more likely bring about changes when the recipients want to and are able to participate


CSOs spread messages because they want people to do something to further their climate agendas. However, our survey revealed that only a few (18%) Indonesians claimed to have ever participated in collective actions to protect the environment. They stated that they were more eager to participate in low-risk and less-involving activities, such as donating and volunteering. This means that CSOs need to start offering a wide range of ways to contribute and participate.


ree

Participant's involvement in collective action


Balancing CSOs’ climate agendas on one side and people’s risk tolerance in participating in collective actions on the other side is not easy, but we need to do it. That being the case, in communicating climate change CSOs need to add call-to-actions that do not overwhelm or scare people while at the same time still further the organizations’ agendas.



History shows us that diversity in ways to participate in collective actions is not a bug, but a feature of successful social movement. In the African-American civil rights movement, we recognize notable heroic figures (Martin Luther King Jr, Rosa Park) and actions (Freedom Riders, march from Selma to Montgomery). However, this movement was supported by many “unsung heroes” in their own ways. Georgia Gilmore did her part in her kitchen by cooking and baking, to feed the activists and raise money for the activism.


Georgia Gilmore

A cook in the civil rights movement in the United States

Gilmore formed a club called Club from Nowhere and sold food during the Montgomery Bus Boycott that lasted for 280 days in 1955 - 1956. She also cooked for activists and protesters at the Selma marches in 1965.


By using the right messaging, we can light up optimism and motivate people to act until we meet many other Georgia Gilmores out there who are ready to stand together with us in this fight.


© 2025 Bahana

bottom of page